MENYELAMI MAKNA DI BALIK TRADISI: Kesalahpahaman Antara Budaya, dan Agama di Tanah Kayong Bagian 1




MENYELAMI MAKNA DI BALIK TRADISI: Kesalahpahaman Antara  Budaya, dan Agama di Tanah Kayong Bagian 1 

Penulis : Raden Hardinoto 

 

Dalam kehidupan sosial sehari-hari, adat dan budaya lokal kerap dihadap-hadapkan dengan agama, seringkali berujung pada klaim "perbuatan syirik" terhadap tradisi tertentu. Pertanyaan mendasar pun muncul: apakah benar hal-hal berbau tradisi ini adalah perbuatan syirik? Atau justru, tudingan tersebut muncul karena kita telah kehilangan makna dan filosofi dari leluhur yang tersembunyi di balik tradisi-tradisi tersebut? Kemudahan untuk memberi label tanpa pemahaman yang jelas seringkali menjadi pangkal permasalahan. Penulis ingin mencoba memberikan beberapa contoh tradisi dan pemaknaan filosofis dalam budaya Melayu, khususnya di Tanah Kayong, untuk meruntuhkan kesalah pamahan ini.

 

"Sekapur Sirih Seulas Pinang": Bekal Budi dan Harmoni Sosial

Ungkapan "Sekapur Sirih Seulas Pinang" bukanlah sekadar kiasan klise dalam budaya Melayu; ia adalah bekal perbuatan bangsa yang sarat akan makna tersurat dan tersirat. Secara harfiah, Sekapur Sirih dapat difungsikan sebagai bekal persiapan perang, media dalam ritual adat, atau bahkan sebagai jamuan kehormatan bagi tamu. Dalam masyarakat Adat Melayu maupun Dayak, khususnya di wilayah Matan, Simpang, dan Tanjungpura, Tepak Sirih Peminang selalu disajikan sebagai pembuka dalam berbagai acara.

 

Apa sebenarnya filosofi di balik Tepak Sirih Peminang ini? Baik untuk jamuan maupun ritual, susunan Sirih berbanjar lima di dalam tepak diartikan sebagai salam lambang sepuluh jari tersusun. Konon, wafak yang tersurat di daun sirih mewakili Asma'ul Husna yang ada pada telapak tangan, menandakan penghormatan dan pengakuan akan kebesaran Ilahi. Ungkapan "seikat bagaikan sirih, serumpun laksana serai" juga melambangkan persatuan dan kekerabatan yang erat.

 

Setiap komponen dalam tepak memiliki makna mendalam diantaranya adalah:

·         Kapur/Kapuk: Melambangkan kebersihan hati dan jiwa yang putih serta jujur.

·         Gambir/Ganjik: Dimaknakan sebagai perekat tali persaudaraan yang kuat.

·         Pinang: Bermakna sebagai budi baik untuk dikenang, meninggalkan jejak kebaikan. Dalam pinang juga kerap terdapat ukiran khusus yang berfungsi untuk pengobatan atau kebutuhan spiritual lainnya.

·         Tembakau/Rokok Sebatang: Bermakna sebagai suluh atau obor, melambangkan petunjuk atau penerang jalan. Tembakau dalam peminang, atau Sugi dalam bahasa  Melayu Kayong selalu bermakna ungkapan sellau merasa beruntung , apapun musibah susur menyusur dan sellau usul dalam tindakan dan perbuatan

 

Esensi pemaknaan ini sangat bergantung pada konteks penggunaan tepak Sirih Peminang. Pemahaman ini penting agar generasi sekarang tidak mudah menelan mentah-mentah tuduhan syirik terhadap ritual dan tradisi ini. Apa yang telah dirancang oleh nenek moyang masa lalu sejatinya merupakan gambaran mendalam mengenai kehidupan sosial dan alam yang saling harmoni, sebuah bentuk kearifan lokal yang patut dilestarikan.

 

Ritual "Bebuang": Toleransi dan Permisi kepada Alam Gaib

Contoh lain yang menarik adalah dalam acara ritual "Bebuang" pada saat kehamilan tiga bulan, tujuh bulan, hingga menjelang melahirkan. Dalam konteks ini, Sekapur Sirih berfungsi sebagai media untuk berkomunikasi dengan alam kasat mata, baik yang ada di tanah maupun di air. Salah satu sosok yang menarik dalam praktik ritual tersebut dikenal dengan nama Adam Tue. Penamaan ini secara historis membuka pengetahuan kita mengenai keberadaan manusia jauh sebelum sosok Adam yang diyakini dalam pandangan agama, menunjukkan adanya perspektif kosmologi yang lebih luas.

 

Inti dari ritual Bebuang adalah memohon izin atau permisi kepada alam gaib dengan ungkapan: "Tabek (permisi) kalaupun nantinya melahirkan nanah darah najis dan lainnya jatuh ke bumi dan dicuci ke air, ibarat kata lelatah kita dolok belunjor dudi dudok (ibaratnya kita dulu seenaknya, sekarang memohon maaf)." Maksudnya adalah bahwa bumi dan air yang suci nantinya akan dikotori oleh najis kelahiran, maka kepada makhluk yang tidak tampak diharapkan untuk memakluminya. Ini didasari pemahaman bahwa penglihatan dan pengetahuan manusia terbatas, sehingga mungkin saja tanpa sadar mengotori "rumah" atau pekarangan makhluk tak kasat mata, yang bisa menyebabkan mereka sakit atau trauma sehingga bisa dendam pada mansuia.

Biasanya, ada satu perbuatan (lelakon) yang dilakukan untuk menangkalnya, yakni dengan menyemburkan air ke tanah sekali dan ke air sekali. Selebihnya, air dibawa pulang untuk disemburkan di tangga dan bendul rumah keluarga yang berhajat. Ritual ini diiringi dengan pembacaan mamang (mantra) dan tak lupa salam kepada Nabi Air, Nabi Tanah, serta diwakilkan kepada makhluk penghuni yang dituakan di dalamnya, guna menangkal balak dan marabahaya yang mungkin terjadi. Ini adalah bentuk kearifan lokal yang mengajarkan penghormatan terhadap alam dan makhluk lain yang tidak kasat mata, sebuah manifestasi spiritualitas yang mendalam.

 

Sinergi Adat dan Agama

Untuk pembahasan yang lebih rinci dan mendalam, penulis membuka ruang diskusi dengan para pembaca dan ahli, baik dari sisi budaya maupun sisi agama. Tujuannya adalah agar kita dapat bersinergi, bukan saling mengkafirkan atau menyesatkan. Seperti ungkapan "seikat bagaikan sirih, serumpun laksana serai, seiring meskipun beda jalan," kita diajak untuk tidak membenci sebelum mengerti. Allah Maha Kuasa bukan berarti sandaran vertikal ke atas saja dengan meniadakan eksistensi makhluk-makhluk lainnya.

Tujuan diskusi ini adalah bagaimana memahami bahwa banyak tradisi lokal merupakan representasi kearifan masa lalu yang mengajarkan harmoni dengan alam dan sesama. Melabeli tradisi secara serampangan sebagai perbuatan "syirik" tanpa memahami konteks dan filosofinya adalah bentuk kehilangan makna yang sebenarnya dibalik ajaran yang kita yakini dan imani.

Wallahu a'lam bish-shawab.


Post a Comment

أحدث أقدم